CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG ELOK

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG ELOK


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG ELOK, Hasrat-Bispak43 Seluruh orang didalamnya perlu bertarung dan berkorban agar tidak tergusur, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya gak hanya itu. Denok pun bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda ialah seorang penari, dan seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak mempunyai banyak hutang karena edan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati karena Bapak telah tak ada, tetapi juga kebingungan lantaran sekian hari sehabis Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil alih agen judi yang memberinya hutang terhadap Bapak. Kami gak punyai tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima lantaran dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, tandingan sangat banyak. Pada akhirnya selesai cukuplah lama menyimak bermacam peluang yang ada, Simbok memutus untuk menggunakan ketrampilan kami. Hanya modal busana dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi persiapan ujian akhir SMA atau jalani tahun awalan kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak mudah pula cari uang melalui cara sesuai ini, paling-paling yang kami temukan cukup buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Serta tidak di semua tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang mau bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Selesai cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski seringkali helai-lembar itu dikasih ke kami kurang santun semisalnya dengan disembunyikan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memanglah merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok  sejak dulu terus mengarahkan serta mengingati saya buat menjaga badan meski melalui langkah simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya masih tetap mulus serta tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pula sich kalaupun di sebut saya montok. Tidak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya bisa-bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu risau dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula kuat lantaran dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Sampai usia begitu lantas beliau masih tetap elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Semuanya orang nengok serta tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua katakan saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu kali pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membikin puas yang tonton."


Makin lama saya biasa pun menggunakan dandanan semacam itu, jadi saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, bentar kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, malapetaka hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya was-was, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya sejak mulai ketabrak  Simbok sudah tidak ada impian, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tak mau tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, malahan harus berutang kemanapun. Saya tidak dapat menyelenggarakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja karena terlampau bersusah-hati. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis dan saya pula harus temui beberapa tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kesukaran saya . Sehingga, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar gak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat omong maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tukasnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG ELOK

Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, serta selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana triknya biar kelak kalaupun pulang telah miliki cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya lagi jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan sedang hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu sekedar mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang namun beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tidak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tak dapat cukup dapat uang ini hari untuk bayar kontrak. Bila berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, tetapi apa harus lewat cara seperti berikut? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Jika saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah nampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tidak berani mengusung kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang tunjukkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari katakan,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya selalu kuatir. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak mau ya udah," tuturnya dengan suara kurang puas.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada laki laki berterus-terang ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta menguak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, dan saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa semestinya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun tidak tahu mengapa, saya pula kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan tak henti memandang sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.


"Marilah donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya terlihat.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama